Senin, 26 November 2012

Keramat Ulama Aceh; Kesalahan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran


Yang namanya manusia, tentu tidak terlepas dari kesalahan (to error is humam), tanpa peduli apakah ia kaum intelektual maupun bukan, terkecuali Nabi yang memang sudah dijamin ma’sum dari kesalahan. Ini bila kesalalahan yang dilakukan manusia tanpa I’tikad jahat (without malice). Melakukan kesalahan dengan sengaja, ini bukan kemanusian tapi kejahatan.
Bagi anda penggemar buku tentunya tidak akan melewatkan satu buku pun untuk dibaca, baik penulis local, nasional, maupun internasional.
Baru-baru ini (catatan ini saya tulis pada 23/09/2011), saya baru saja menamatkan membaca sebuah buku yang berjudul  “Keramat Ulama Aceh” dikarang oleh Drs.Tgk.Harmen Nuriqmar.
Terbitnya buku ini haruslah kita memberi apresiasi dan aplaus yang sedemikian rupa, dikarenakan dengan hadirnya buku ini telah menambah referensi kita tentang ulama-ulama Aceh, sekarang kita hanya banyak disungguhi dengan sejarah-sejarah ulama jawa sedari melupakan sejarah ulama Aceh, seolah-olah Aceh negeri islam tanpa ulama, hadirnya buku ini mengentahkan semua itu, bahkan membaca judul buku itu memberi tau kepada kita, ulama Aceh bukan sekedar ulama biasa-biasa saja, tapi ulama sekaligus waliyullah, sehingga Allah memberi mereka dengan keramat (bahasa arab, karamah)
Dan satu yang ingin saya beritahukan dalam buku ini sebenarnya bukanlah Cuma Drs.Tgk.Harmen Nuriqmar, tapi ada pengarang lain yaitu, Drs.Tgk.H. Ameer Hamzah, pastinya bila anda pembaca setia Koran Waspada, tentu tidak asing lagi dengan penulis ini, karena pada Koran Waspada beliau adalah penulis tetap pada rubrik ‘Bayan’.
Dalam buku ini, saya mendapatkan kejanggalan yang saya kira itu  memang sebuah kesalahan, yaitu pada halaman 37 ;
“Taukah anda ? gunung-gunung yang kita lihat mematung itu sebenarnya berjalan juga seperti awan ? sebagaimana difirmankan Allah “ Dan engkau melihat gunung-gunung, engkau kira bahwa dia tetap tak bergerak, padahal dia berjalan kencang sebagai awan berjalan….(QS 27:88, 52:10). Para ali geofisika sudah menelati tentang bergeraknya gunung-gunung itu dan mereka membuktikannya. Subhanallah !
Ketika saya membacanya, saya penasaran, apakah memang begitu penafsirannya ayat tersebut ? Dari manakah beliau mendapatkan tafsiran tersebut?, rasa penasaran saya menggerakkan saya untuk membuka kitab tafsir, yaitu kitab tafsir Jalalain, yang populer dikalangan dikalangan Dayah-Dayah dan pesantren.
Ternyata apa yang saya baca dalam buku itu sangat jauh berbeda dengan penjelasan yang terdapat dalam kitab jalalain, yang mana dalam kitab tersebut dijelaskan yang bahwa berjalan gunung yaitu ketika terjadi hari kiamat, bukan waktunya sekarang.
Tafsir jalalain surah an-Naml ayat 88 ;
{وَتَرَى الْجِبَال"} تُبْصِرهَا وَقْت النَّفْخَة {"تَحْسَبهَا"} تَظُنّهَا{ "جَامِدَة"} وَاقِفَة مَكَانهَا لِعِظَمِهَا {"وَهِيَ تَمُرّ مَرّ السَّحَاب"} الْمَطَر إذَا ضَرَبَتْهُ الرِّيح أَيْ تَسِير سَيْره حَتَّى تَقَع عَلَى الْأَرْض فَتَسْتَوِي بِهَا مَبْثُوثَة ثُمَّ تَصِير كَالْعِهْنِ ثُمَّ تَصِير هَبَاء مَنْثُورًا {"صُنْع اللَّه"} مَصْدَر مُؤَكَّد لِمَضْمُونِ الْجُمْلَة قَبْله أُضِيفَ إلَى فَاعِله بَعْد حَذْف عَامِله أَيْ صَنَعَ اللَّه ذَلِكَ صَنِعًا {"الَّذِي أَتْقَنَ"} أَحْكَمَ {"كُلّ شَيْء"} صَنَعَهُ {"إنَّهُ خَبِير بِمَا تَفْعَلُونَ"} بِالْيَاءِ وَالتَّاء أَيْ أَعْدَاؤُهُ مِنْ الْمَعْصِيَة وَأَوْلِيَاؤُهُ مِنْ الطَّاعَة
088. (Dan kamu lihat gunung-gunung itu) yakni kamu saksikan gunung-gunung itu sewaktu terjadinya tiupan malaikat Israfil (kamu sangka dia) (tetap) diam di tempatnya karena besarnya (padahal ia berjalan sebagai jalannya awan) bagaikan hujan yang tertiup angin, maksudnya gunung-gunung itu tampak seolah-olah tetap, padahal berjalan lambat saking besarnya, kemudian jatuh ke bumi lalu hancur lebur kemudian menjadi abu bagaikan bulu-bulu yang beterbangan. (Begitulah perbuatan Allah) lafal Shun'a merupakan Mashdar yang mengukuhkan jumlah sebelumnya yang kemudian di-mudhaf-kan kepada Fa'il-nya Sesudah 'Amil-nya dibuang, bentuk asalnya ialah Shana'allahu Dzalika Shun'an. Selanjutnya hanya disebutkan lafal Shun'a yang kemudian dimudhaf-kan kepada Fa'il-nya yaitu lafal Allah, sehingga jadilah Shun'allahi; artinya begitulah perbuatan Allah (yang membuat dengan kokoh) rapih dan kokoh (tiap-tiap sesuatu) yang dibuat-Nya (sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan) lafal Taf'aluna dapat dibaca Yaf'aluna, yakni perbuatan maksiat yang dilakukan oleh musuh-musuh-Nya dan perbuatan taat yang dilakukan oleh kekasih-kekasih-Nya.
Tafsir jalalain surah At-Thur ayat 10
{وَتَسِير الْجِبَال سَيْرًا"} تَصِير هَبَاء مَنْثُورًا وَذَلِكَ فِي يَوْم الْقِيَامَة

010. (Dan gunung-gunung benar-benar berjalan) maksudnya, menjadi debu yang beterbangan, demikian itu adalah hari kiamat.
Lantas kenapa pengarang buku ‘Keramat Ulama Aceh’ menafsirkan itu ?, saya menduga karena pengarangnya cenderung kepada penafsiran ilmiah Al quran.
Dalam masalah ini saya cenderung seperti Annemarie schimmel dalam bukunya ‘Mengurai Ayat-Ayat Allah’, ia menulis
“Namun demikian orang hendaknya sadar bahwa Al-Quran bukan merupakan buku teks fisika atau biologi namun basic elan-nya adalah moral, sebagaimana Fazlur Rahman tegaskan, dan merupakan hukum moral yang kekal sedangkan penemuan sain berubah dengan kecepatan yang semakin tinggi.”
Kita tidak memaksakan tafsiran berjalan gunung tersebut itu adalah sekarang karena didukung ahli Geofisika, bagaimana bila 5 tahun kedepan ternyata penelitian yang dilakukan oleh ahli fisika berbeda dengan penelitian sekarang ?. Apakah kita juga akan mengubah penafsiran ayat tersebut?.
Dr.’Ali Hasan Al-‘Aridl dalam bukunya yang berjudul ‘Tarikh ‘ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin’ beliau menulis “sebagian ulama menolak tafsir ilmiah. Mereka tidak melangkah jauh untuk memberikan makna-makna yang tidak dikandung dan dimungkinkan oleh ayat dan menghadapkan Al-Quran kepada teori-teori ilmiah yang jelas jelas terbukti tidak benar setelah berpuluh-puluh tahun, oleh karena teori-teori itu bersifat relative. Mereka berpendapat, tidak perlu masuk terlalu jauh dalam memahami dan menginterpretasikan ayat-ayat Al-Quran, oleh karena ia tidak tunduk kepada teori-teori itu, tidak perlu pula mengkaitkan ayat-ayat AL-Qur’an dengan kebenaran-kebenaran imiah dan teori-teori alam. Sebaliknya -menurut mereka- kita harus menempuh cara yang mudah dalam memahami ayat-ayat AL-Qur’an dengan mengungkapkan makna-makna yang ditunjukkan teks ayat dan benar-benar sesuai dengan konteksnya tanpa melangkah terlalu jauh dan lepas ke makna yang ditunjukkan oleh teks ayat dan hal-hal lain yang tidak perlu diungkap dalam kaitan dengan pensyari’atan agama islam dan fungsi AL-Qur’an sebagai hidayah (petunjuk).
Hal diatas dikarenakan kepentingan AL-Qur’an bukanlah berbicara kepada manusia tentang problematika kosmologis, dan kebenaran-kebenaran ilmiah, tetapi ia semata-semata merupakan petunjuk dan penuntun yang diturunkan oleh Allah untuk kebahagian manusia. Oleh karena inilah, kita harus menjauhkan Al-Qur’an dari pemikiran-pemikiran yang mengada-ada dan kita tidak boleh menundukkannya kepada teori-teori dan penemuan-penemuan ilmiah.”
Kita juga harus memperhatikan hadis SAW yang dikeluarkan oleh Abu Dawud ;
من قال في القران بغير علم فليتبوأ مقعده من النار
“Barangsiapa berkata dalam (menafsirkan) AL-Quran tanpa disertai imu, maka bersegeralah ia mengambil tempat di neraka”

Wallahu A’lam.

                                       Darul Huda, 23 September 2011



Makmegang


Hingga kini tidak ada seorangpun yang menjelaskan makna dari perayaan makmeugang? Kapan pertama kali makmegang dilaksanakan?
Makmeugang adalah tradisi di Aceh berupa penyembelihan lembu untuk acara penyambutan puasa dan hari raya, pada hari Makmeugang hampir semua orang Aceh membeli daging lembu, terkecuali segelintir orang karena memang sangat tidak mampu, atau mampu namun tidak bisa makan daging lembu. Dan bukan hanya daging lembu saja yang dibeli, juga ikan ayam, ikan Bandeng, ikan Tongkol, udang. Pokoknya pada hari Makemeugang masakan serba ada.
Makmeugang terbagi kepada dua; pertama Makmegang ubeut, yang kedua Makmegang Rayeuk. Makmegang ubeut adalah perayaan yang diadakan dua hari sebelum hari raya atau puasa. Makmegang rayeuk adalah perayaan yang diadakan satu hari sebelum hari raya atau puasa.
Sebagian orang mengkritik perayaan Makmeugang, katanya Makmegang adalah budayanya orang konsumtif, pemboros. Namun menurut saya, ada makna tersendiri dibalik perayaan Makmegang, seperti Makmegang sebelum puasa mungkin karena terinspirasi dari hadis nabi “Barang siapa yang senang dengan masuk bulan suci Ramadhan haramnya jasad dalam api neraka”. Makmegang sebelum hari raya I’dul fitri memang dikarenakan pada hari terakhir ramadhan adalah hari ‘itqu minan nar (pembebasan dari api neraka), maka wajar saja untuk dirayakan. Untuk Makmegang sebelum raya I’dul adha, saya rasa untuk menyemarakkan hari besar islam.
Berbincang-bincang masalah makmeugang, terbayang dalam benak kita kesibukan yang sangat luar biasa. Pada hari itu, ibu-ibu membuat timphan, ada yang membuat timphan asoe kaya, ada juga yang membuat timphat u, memasak daging, membuat lontong, membersihkan rumah.
Bahkan beberapa hari sebelum makmeugang, ibu-ibu sudah sudah sibuk dengan membuat kue-kue menyambut tamu di hari raya, ada kue keukarah, nyap, marke, boh usen, peyek, kueh sepet dan bermacam kueh lainnya. Juga tidak lupa membikin u lhee (kelapa gongseng) untuk memasak dihari makmeugang.
Aktivitas dipasar-pasar pun sangat padat, penjual yang menjajakan kue-kue lebaran seakan merayu untuk membeli asongannya, penjual baju menggelar lapaknya didepan toko, yang hanya menyisakan sedikit ruas jalan.
Bagaimana Makmeugang Anda kali ini ?

                                Teupin Punti, 24 Oktober 2012

berjamaahlah.....!


Shalat berjamaa’ah pertama kali di syariatkan yaitu di Madinah, banyak hikmah di balik perintah berjamaah. Shalat berjama’ah belum disyariatkan di Mekkah, karena kaum muslimin di Makkah di ketika itu masih minoritas dan bawah intimidasi Quraisy.
Banyak hikmah di balik perintah berjamaah. Salah satunya sebagaimana yang diungkapkan oleh Manawi yaitu tegaknya kasih sayang dan persaudaraan antara orang-orang yang shalat.
Banyak hadis yang menyatakan kelebihan shalat berjama’ah, sebagiannya seperti yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Anas “barang siapa yang berjalan kepada berjamaah shalat wajib, maka ia seperti haji, dan barang siapa yang berjalan kepada shalat sunat, maka ia seperti umrah”, dan hadis yang diriwayatkan oleh Turmuzi dari Anas “ Barang siapa yang yang shalat 40 hari dalam keadaan berjama’ah dan mendapatkan takbir yang pertama, dituliskan baginya dua kebebasan; kebebasan dari neraka, dan kebebasan dari nifaq.
Dalam hadis lain “shalat jamaah lebih afdhal dari pada shalat sendirian dua puluh tujuh derajat”
Meninggalkan jamaah bagi ulama salaf merupakan satu musibah. Pernah seorang ulama pergi ke kebun kurmanya, sekembalinya dari kebun kurma, beliau mendapatkan manusia telah melakukan shalat berjama’ah a’shar, maka beliau berkata ” sungguh kebun kurma telah meluputkan dari dari jama’ah, maka saksikanlah olehmu bahwa kebun kurma ini sedakah untuk kaum miskin”
Abdullah bin Umar pernah tertinggal shalat isya berjama’ah, sebgai gantinya beliau shalat pada malam tersebut hingga terbit fajar.
Begitulah ulama-ulama bersungguh-sungguh dalam berjamaah, kontras dengan sikap kita yang mengabaikan dan meremehkan shalat jama’ah, bahkan kita terlalu biadab hingga shalat pun diremehkan, sehingga tidak merasa risih untuk meninggalkan shalat.

hukum shalat berjamaah


Shalat berjama’ah mungkin tidak asing lagi bagi kita, hampir setiap hari kita mengerjakannya, tapi tahukah anda apa hukumnya berjama’ah?
Ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya shalat berjamah atas beberapa pendapat
Sunnat Muakkad
Menurut pendapat yang kuat, hukum berjamaah adalah sunnat muakkad, ini berdasarkan hadis Muttafaqun Alaih
صلاة الجماعة أفضل من صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة
“shalat berjamaah lebih afdhal dari pada shalat sendirian 27 derajat”
Dari kata ‘afdhaliyah’ tersebut menghendaki kepada sunat.
Fardhu kifayah
Imam Nawawi berkata, pendapat yang kuat, berjamaah hukumnya fardhu kifayah, yang wajib memperlihatkan syiarnya. Dan seandainya seluruh orang sekampung tidak melakukan berjama’ah maka semuanya berdosa, dan mereka dibunuhkan.
Dan pendapat inilah yang mengnash oleh imam syafi’I dan berpendapat dengannya oleh Ibnu Suraij, Abi Ishaq dan jumhur mutaqaddimin.
Dalilnya;
ما من ثلاثة في قرية أو بدو لا تقام فيها الجماعة إلا استحوذ عليهم الشيطان أي غلب  فعليك بالجماعة فإنما يأكل الذنب من الغنم القاصية
“Tidaklah 3 orang yang tinggal disatu kampong atau pelosok tapi tidak melakukan shalat berjama’ah kecuali setan telah menguasai mereka, hendaklah kalian berjama’ah sebab serigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya.” (HR Abu Daud 547 dan Nasai dengan sanad hasan)
Kata لا تقام   pada hadis tersebut’ umum’, yang baik yang mengerjakannya adalah tiap-tiap orang yang bermukim pada kampong tersebut atau yang mengerjakannya adalah sebagian mereka, dari inilah menunjuki yang bahwa shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah, dan seandainya shalat berjamaah hukumnya fardhu a’in, maka sungguh nabi akan berkata لا يقيمون  Yang maknanya ‘tidak mendirikan semua mereka itu.
Dan diantara yang berpendapat seperti ini adalah Abu Abbas dan Abu Ishaq
Fardhu A’in
Menurut Mazhab Ahmad hukum berjamaah adalah fardhu a’in.
Juga yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Munzir,
Dan imam Rafi’I berkata “Ada yang mengatakan, ini salah salah satu pendapat syafi’i
Dalilnya;
ولقد هممت أن آمر بالصلاة فتقام، ثم آمر رجلا فيصلي بالناس، ثم انطلق معي برجال معهم حزم من حطب إلى قوم لا يشهدون الصلاة فأحرق عليهم بيوتهم بالنار.
“Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintah satu orang shalat dengan manusia (menjadi imam). Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa oaring membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah mereka dengan api.” (HR Bukhari 664, 657,2420, 7224. Dan Muslim 651)
Syarat sah shalat
Dan ada yang berpendapat, yang bahwa berjamaah merupakan syarat bagi sah shalat. Sehingga shalat fardhu tidak sah bila dilakukan tanpa berjamaah
Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Taimiyyah dalam salah satu pendapatnya ( lihat Majmu’ Fatawa jilid 23 halaman 333). Demikian juga dengan ibnu qayyim, murid beliau, juga Ibnu Aqil dan IbnuAbi Musa serta  mazhab Zahiriyah (lihat Al Muhalla jilid 4 halaman 265). Termasuk juga Abul Hasan At tamimi, Abu Al barakat dari kalangan Hanabilah serta ibnu Khuzaimah.

Kamis, 27 September 2012

silsilah keturunan nabi


Salah satu kewajiban umat islam yaitu mengenal silsilah keturunan junjungan nabi kita Muhammad SAW, baik dari silsilah dari pihak ibu, maupun dari pihak ayah.
Sudahkah sobat mengenalnya?, dari pada bingung mikirnya, yok ikuti penjelasannya.
Rasulullah di utus sebagai Rahmatan lil a’alamin, ayahnya bernama Abdullah, anak lelaki A’bdul Muthallib dari istinya yang bernama Fathimah binti ‘Amr al-Makhzumiyah dari kabilah Quraisy. Abdul Muthallib adalah seorang syekh (pemimpin) yang di agungkan di kalangan kabilah quraisy. Mereka selalu meminta keputusan darinya bila menghadapi perkara-perkara sulit, dan mereka selalu mendahulukannya di dalam hal-hal yang penting. Abdul Muthallib adalah anak Hasyim dari istrinya Salma binti A’mran- Najjariyyah dari kabilah Khazraj. Hasyim adalah anak Abdu Manaf dari istrinya yang bernama Atikah binti Murrah as-Sulamiyah. Dan Abdu Manaf adalah anak Qushay dari isterinya yang bernama Hubbiy binti al- Khuza’iyah.
Jabatan hijabah (pengurus) Baitullah (ka’bah) pada masa jahiliyyah di percayakan kepada qushay, demikian pula jabatan rifadah (bertugas member minum dan makanan kepada jamaah haji), dan jabatan memimpin Nudwah, yaitu majelis permusyawaratan yang harus memecahkan semua masalah di rumahnya, serta jabatan liwa (panglima perang). Ketika ajal telah dekat, ia menyerahkan semua jabatab tersebut kepada salah seorang anak lelakinya yang bernama Abdud Dar. Akan tetapi, Bani Abdu Manaf (anak-anak Abdu Manaf) sepakat tidak akan membiarkan anak-anak mereka, Bani Abdud Dar, menguasai kedudukan yang dibanggakan ini sehingga hampir saja pecah perang saudara di kalangan mereka andaikata tidak ada orang-orang bijaksana dari kedua kelompok itu yang melerai. Akhirnya mereka sepakat untuk menyerahkan jabatan siqayah dan rifadah kepada Bani Abdu Manaf, kedua jabatan penting ini berlangsung ditangan mereka sehingga samapai kepada tangan Al-Abbas ibnu Abdul-Muthallib, yang selanjutnya menurunkan pula kepada anak-anaknya sesudah Al abbas meninggal dunia. Adapun jabatan siqayah masih tetap berada ditangan Bani Abdud Dar, yang selanjutnya di akui oleh syara’. Hingga sekarang jabatan tersebut masih tetap berada di tangan  meraka, yaitu Bani Syaibah ibnu Utsman ibnu Abu Thalhah ibnu Abdul aziz ibnu Utsman ibnu Abdud Dar. Adapaun jabatan liwa masih tetap berada di tangan Bani Abdud Dar) sehingga dibatalkan oleh islam, kemudian islam menjadikannya sebagai hak Khalifah kaum muslimin dan hanya boleh dipegang oleh orang yang di nilai oleh islam sebagai orang yang layak untuk memangkunya, demikian pula jabatan Nudwah.
Qushay adalah anak lelaki kilab dari isterinya, Fathimah binti Sa’ad dari negeri Yaman dan dari kalangan kabilah Azdsyanuah. Kilab adalah anak Murrah dari istrinya yang bernama Hindun binti Sarir dari bani Fihri ibnu Malik. Murrah adalah anak Ka’ab dari istrinya Wahsyiah binti Syaiban dari kalangan Bani Fihr pula. Ka’ab adalah anak luay dari istrinya yang dikenal dengan nama panggilan Ummu Ka’ab, nama aslinya adalah Bariah binti Ka’ab dari kabilah qudha’ah. Dan Luay adalah anak Ghalib dari istrinya yang dikenal dengan nama panggilan Ummu Luay, nama aslinya Salma binti Amr al Khuza’iy. Ghalib adalah anak Fihr dari istrinya yang dikenal dengan nama panggilan Ummu Ghalib, nama aslinya adalah Laila Sa’ad dari kalangan kabilah Hudzail.
Menurut pendapat mayoritas ahli sejarah, Fihr adalah Quraisy, dan Quraisy merupakan suatu kabilah besar yang terdiri ats beberapa puak, yaitu Bani Abdu Manaf, Bani Abdud Dar ibnu Qushay, Bani Asad ibnu Abdul Uzza ibnu Qushay, Bani Zahrah ibnu Kilab, Bani Makhzum ibnu Yaqzhah ibnu Murrah, Bani Taim ibnu Murrah, Bani Addiy ibnu Ka’b, Bani Sahm ibnu Hushaish ibnu Amr Ka’ab, Bani Amir ibnu luay, Bani Taim ibn Ghalib, Bani al-Harits ibnu Fihr, dan Bani Muharrib ibnu Fihri. Orang- orang Quraisy yang mendiami di sekitar kota Mekkah di namakan Quraisy Azh- Zhawahir (orang-orang Quraisy pedalaman).
Fihr adalah anak Malik dari istrinya yang bernama Jandalah binti al-Hrb dari kabilah Jurhum. Malik adalah anak An-Nadhar dari istrinya  yang bernama ‘Atikah binti ‘Adwan dari kabilah Qais ‘Ailan. An-Nadhar adalah anak Kinanah dari istrinya yang bernama Barrah binti Mur ibnu idd. Kinanah adalah anak Khuzaimah dari istrinya yang bernama ‘Awwanah binti sa’d dari kalangan kabilah Qais ‘Ailan. Khuzaimah adalah anak Mudrikah dari istrinya yang bernama Salma binti Aslam dari kabilah Qudha’ah. Mudrikah adalah anak ilyas dari istrinya yang bernama Khandaf, seorang wanita teladan dalam hal kehormatan dan keperkasaan. Ilyas adalah anak Mudhar dari istrinya yang bernama Ar-Rabbab binti Jundah ibnu Ma’ad. Mudhar adalah anak Nizzar dari istrinya yang bernama Saudah binti ‘Ak. Nizzar adalah anak Ma’ad  dari isrtinya yang bernama Mu’anah binti Jausyam dari kabilah Jurhum. Dan Ma’d adalah anak ‘Adnan.
Demikianlah nasab keturunan Nabi saw yang keabsahannya telah disepakati oleh para ulama tarikh dan ahli hadis. Adapun mengenai nasab mulai dari ‘Adnan hingga keatasnya tidak ada satu jalur periwayatan pun yang sahih. Pada garis besarnya mereka telah sepakat bahwa nasab Rasullullah saw sampai kepada Nabi Isma’il sebagai bapak orang-orang Arab yang musta’ribah dan Nabi Isma’il adalah anak Nabi Ibrahim as.