Yang
namanya manusia, tentu tidak terlepas dari kesalahan (to error is humam),
tanpa peduli apakah ia kaum intelektual maupun bukan, terkecuali Nabi yang
memang sudah dijamin ma’sum dari kesalahan. Ini bila kesalalahan yang dilakukan
manusia tanpa I’tikad jahat (without malice). Melakukan kesalahan dengan
sengaja, ini bukan kemanusian tapi kejahatan.
Bagi anda
penggemar buku tentunya tidak akan melewatkan satu buku pun untuk dibaca, baik
penulis local, nasional, maupun internasional.
Baru-baru
ini (catatan ini saya tulis pada 23/09/2011), saya baru saja menamatkan membaca
sebuah buku yang berjudul “Keramat Ulama
Aceh” dikarang oleh Drs.Tgk.Harmen Nuriqmar.
Terbitnya
buku ini haruslah kita memberi apresiasi dan aplaus yang sedemikian rupa,
dikarenakan dengan hadirnya buku ini telah menambah referensi kita tentang
ulama-ulama Aceh, sekarang kita hanya banyak disungguhi dengan sejarah-sejarah
ulama jawa sedari melupakan sejarah ulama Aceh, seolah-olah Aceh negeri islam
tanpa ulama, hadirnya buku ini mengentahkan semua itu, bahkan membaca judul
buku itu memberi tau kepada kita, ulama Aceh bukan sekedar ulama biasa-biasa
saja, tapi ulama sekaligus waliyullah, sehingga Allah memberi mereka dengan
keramat (bahasa arab, karamah)
Dan satu
yang ingin saya beritahukan dalam buku ini sebenarnya bukanlah Cuma
Drs.Tgk.Harmen Nuriqmar, tapi ada pengarang lain yaitu, Drs.Tgk.H. Ameer
Hamzah, pastinya bila anda pembaca setia Koran Waspada, tentu tidak asing lagi
dengan penulis ini, karena pada Koran Waspada beliau adalah penulis tetap pada rubrik
‘Bayan’.
Dalam buku
ini, saya mendapatkan kejanggalan yang saya kira itu memang sebuah kesalahan, yaitu pada halaman 37
;
“Taukah anda ? gunung-gunung yang kita lihat
mematung itu sebenarnya berjalan juga seperti awan ? sebagaimana difirmankan
Allah “ Dan engkau melihat gunung-gunung, engkau kira bahwa dia tetap tak
bergerak, padahal dia berjalan kencang sebagai awan berjalan….(QS 27:88,
52:10). Para ali geofisika sudah menelati tentang bergeraknya gunung-gunung itu
dan mereka membuktikannya. Subhanallah !
Ketika saya
membacanya, saya penasaran, apakah memang begitu penafsirannya ayat tersebut ?
Dari manakah beliau mendapatkan tafsiran tersebut?, rasa penasaran saya
menggerakkan saya untuk membuka kitab tafsir, yaitu kitab tafsir Jalalain, yang
populer dikalangan dikalangan Dayah-Dayah dan pesantren.
Ternyata
apa yang saya baca dalam buku itu sangat jauh berbeda dengan penjelasan yang
terdapat dalam kitab jalalain, yang mana dalam kitab tersebut dijelaskan yang
bahwa berjalan gunung yaitu ketika terjadi hari kiamat, bukan waktunya
sekarang.
Tafsir
jalalain surah an-Naml ayat 88 ;
{وَتَرَى الْجِبَال"} تُبْصِرهَا وَقْت
النَّفْخَة {"تَحْسَبهَا"} تَظُنّهَا{ "جَامِدَة"} وَاقِفَة
مَكَانهَا لِعِظَمِهَا {"وَهِيَ تَمُرّ مَرّ السَّحَاب"} الْمَطَر إذَا
ضَرَبَتْهُ الرِّيح أَيْ تَسِير سَيْره حَتَّى تَقَع عَلَى الْأَرْض فَتَسْتَوِي
بِهَا مَبْثُوثَة ثُمَّ تَصِير كَالْعِهْنِ ثُمَّ تَصِير هَبَاء مَنْثُورًا {"صُنْع
اللَّه"} مَصْدَر مُؤَكَّد لِمَضْمُونِ الْجُمْلَة قَبْله أُضِيفَ إلَى
فَاعِله بَعْد حَذْف عَامِله أَيْ صَنَعَ اللَّه ذَلِكَ صَنِعًا {"الَّذِي
أَتْقَنَ"} أَحْكَمَ {"كُلّ شَيْء"} صَنَعَهُ {"إنَّهُ خَبِير
بِمَا تَفْعَلُونَ"} بِالْيَاءِ وَالتَّاء أَيْ أَعْدَاؤُهُ مِنْ
الْمَعْصِيَة وَأَوْلِيَاؤُهُ مِنْ الطَّاعَة
088.
(Dan kamu lihat gunung-gunung itu) yakni kamu saksikan gunung-gunung itu
sewaktu terjadinya tiupan malaikat Israfil (kamu sangka dia) (tetap) diam di
tempatnya karena besarnya (padahal ia berjalan sebagai jalannya awan) bagaikan
hujan yang tertiup angin, maksudnya gunung-gunung itu tampak seolah-olah tetap,
padahal berjalan lambat saking besarnya, kemudian jatuh ke bumi lalu hancur
lebur kemudian menjadi abu bagaikan bulu-bulu yang beterbangan. (Begitulah
perbuatan Allah) lafal Shun'a merupakan Mashdar yang mengukuhkan jumlah sebelumnya
yang kemudian di-mudhaf-kan kepada Fa'il-nya Sesudah 'Amil-nya dibuang, bentuk
asalnya ialah Shana'allahu Dzalika Shun'an. Selanjutnya hanya disebutkan lafal
Shun'a yang kemudian dimudhaf-kan kepada Fa'il-nya yaitu lafal Allah, sehingga
jadilah Shun'allahi; artinya begitulah perbuatan Allah (yang membuat dengan
kokoh) rapih dan kokoh (tiap-tiap sesuatu) yang dibuat-Nya (sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan) lafal Taf'aluna dapat dibaca
Yaf'aluna, yakni perbuatan maksiat yang dilakukan oleh musuh-musuh-Nya dan
perbuatan taat yang dilakukan oleh kekasih-kekasih-Nya.
Tafsir
jalalain surah At-Thur ayat 10
{وَتَسِير الْجِبَال سَيْرًا"} تَصِير
هَبَاء مَنْثُورًا وَذَلِكَ فِي يَوْم الْقِيَامَة
010.
(Dan gunung-gunung benar-benar berjalan) maksudnya, menjadi debu yang
beterbangan, demikian itu adalah hari kiamat.
Lantas
kenapa pengarang buku ‘Keramat Ulama Aceh’ menafsirkan itu ?, saya menduga
karena pengarangnya cenderung kepada penafsiran ilmiah Al quran.
Dalam
masalah ini saya cenderung seperti Annemarie schimmel dalam bukunya ‘Mengurai
Ayat-Ayat Allah’, ia menulis
“Namun
demikian orang hendaknya sadar bahwa Al-Quran bukan merupakan buku teks fisika
atau biologi namun basic elan-nya adalah moral, sebagaimana Fazlur
Rahman tegaskan, dan merupakan hukum moral yang kekal sedangkan penemuan sain
berubah dengan kecepatan yang semakin tinggi.”
Kita tidak
memaksakan tafsiran berjalan gunung tersebut itu adalah sekarang karena
didukung ahli Geofisika, bagaimana bila 5 tahun kedepan ternyata penelitian
yang dilakukan oleh ahli fisika berbeda dengan penelitian sekarang ?. Apakah
kita juga akan mengubah penafsiran ayat tersebut?.
Dr.’Ali
Hasan Al-‘Aridl dalam bukunya yang berjudul ‘Tarikh ‘ilm al-Tafsir wa Manahij
al-Mufassirin’ beliau menulis “sebagian ulama menolak tafsir ilmiah. Mereka
tidak melangkah jauh untuk memberikan makna-makna yang tidak dikandung dan
dimungkinkan oleh ayat dan menghadapkan Al-Quran kepada teori-teori ilmiah yang
jelas jelas terbukti tidak benar setelah berpuluh-puluh tahun, oleh karena
teori-teori itu bersifat relative. Mereka berpendapat, tidak perlu masuk
terlalu jauh dalam memahami dan menginterpretasikan ayat-ayat Al-Quran, oleh
karena ia tidak tunduk kepada teori-teori itu, tidak perlu pula mengkaitkan
ayat-ayat AL-Qur’an dengan kebenaran-kebenaran imiah dan teori-teori alam.
Sebaliknya -menurut mereka- kita harus menempuh cara yang mudah dalam memahami
ayat-ayat AL-Qur’an dengan mengungkapkan makna-makna yang ditunjukkan teks ayat
dan benar-benar sesuai dengan konteksnya tanpa melangkah terlalu jauh dan lepas
ke makna yang ditunjukkan oleh teks ayat dan hal-hal lain yang tidak perlu
diungkap dalam kaitan dengan pensyari’atan agama islam dan fungsi AL-Qur’an
sebagai hidayah (petunjuk).
Hal diatas
dikarenakan kepentingan AL-Qur’an bukanlah berbicara kepada manusia tentang
problematika kosmologis, dan kebenaran-kebenaran ilmiah, tetapi ia
semata-semata merupakan petunjuk dan penuntun yang diturunkan oleh Allah untuk
kebahagian manusia. Oleh karena inilah, kita harus menjauhkan Al-Qur’an dari
pemikiran-pemikiran yang mengada-ada dan kita tidak boleh menundukkannya kepada
teori-teori dan penemuan-penemuan ilmiah.”
Kita juga
harus memperhatikan hadis SAW yang dikeluarkan oleh Abu Dawud ;
من قال في القران بغير علم فليتبوأ مقعده من النار
“Barangsiapa berkata dalam (menafsirkan) AL-Quran
tanpa disertai imu, maka bersegeralah ia mengambil tempat di neraka”
Wallahu
A’lam.
Darul
Huda, 23 September 2011