Saya merasa miris sekarang melihat orang tua-orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa daerah kepada anaknya, mereka lebih mengutamakan mengajari anaknya bahasa nasional. Maka tidak mengherankkan sekarang, orang asli Aceh, ayahnya Aceh ibunya Aceh dan berdomisili di Aceh namun tidak bisa berbahasa Aceh.
Bila dibiarkan saja begini, lama-kelamaan bahasa daerah akan musnah satu-satu. Indonesia yang kaya budaya dan bahasa akhirnya miskin bahasa dan budaya.
Lebih parahnya lagi, sebagian orang malu berbicara dengan bahasa daerahnya, di sini pada tempat kami di Aceh, tidak fasih berbicara bahasa Indonesia menjadi malu bagi seseorang. Namun apabila ia tidak bisa berbicara bahasa Aceh, dia tidak pernah merasa asing.
Bukan hanya karena bahasa nasional saja musnah bahasa daerah, bahasa internasional pu turut menggempur bahasa daerah. Tempat-tempat belajar bahasa asing terus bermunculan, seolah berbahasa asing itu sebuah kewajiban sedari melupakan bahasa daerah.
Kita melihat, untuk bahasa nasional ada pusat bahasa yang dibawahi oleh Departemen Pendidikan Naional, tapi untuk bahasa daerah apakah ada? Tidak ada yang menghiraukan, bagaimana kaedah-kaedah menulis dan berbicara dengan bahasa daerah, tidak ada buku-buku yang menjadi rujukan.
Kamis, 31 Januari 2013
Selamatkan bahasa kami....!
Jangan galau berbahasa Indonesia
Malam ini saya galau dalam menulis postingan di facebook, saya tidak tau harus menggunakan kalimat apa dalam mengungkapkan pikiran saya. Saya ingin menterjemahkan kata “sigoe-sigoe” (bahasa Aceh) ke dalam bahasa Indonesia. Apa saya harus menulisnya ‘sekali', sekali-kali,’ sekali-sekali’ atau ‘sesekali’?. Saya bingung, akhirnya saya mencoba mencari artikel di Google dan membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia yang ada dalam aplikasi Andoid saya, pada akhirnya saya menemukannya.
Sekali, sekali-sekali, sesekali dan sekali-kali, keempat kata tersebut termasuk dalam kata keterangan (adverbial) dan sama-sama diturunkan dari kata ‘kali’ yang mengatakan kekerapan atau kelipatan. Kata ‘sekali’ berarti satu kali. Kata ‘sekali-sekali’ berarti kadang-kadang, tidak kerap, tidak sering, atau tidak selalu. Kata ‘sesekali’ merupakan bentuk singkat dari sekali-kali dan memiliki arti yang sama. Kata ‘sekali-kali’ berarti sama sekali, sedikit pun (tidak), atau sedikit pun (jangan)
Perhatikan penggunaan di bawah ini
1. Baru sekali saya berkunjung ke rumahnya
2. Sekali-kali ia tidak memikirkan keluarganya
3. Dia hanya sekali-sekali datang kemari
Coba Anda perhatikan kesalahan saya dalam menulis postingan facebook malam ini “Suaranya serak mengumandangkan azan. Sesekali suaranya terputus ditengah azan. Maklum umurnya sudah menua. Namun ia tetap mengumandangkan azan, ini bukan pilihannya, tetapi karena terpaksa. Tidak ada orang lain yang mau, bukan karena tidak bisa, namun tidak cukup berani dan terbiasa.”
Kesalahan saya yang sangat fatal adalah memilih kata sesekali, padahalyang benar adalah sekali-sekali.
Referensi;
Sugono, D. (Ed). (2007). Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 2. Jakarta Pusat: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Kamus Besar Bahasa Indonesia di Alikasi Android.
Penonton Bola VS Orang Mengaji
Siapa banyak peminat menonton bola dengan peminat menghadiri pengajian? Ah.. tentu pertanyaan yang tidak anda duga-duga sebelumnya. Namun ini perlu dipertanyakan.
Ketika pengajian diadakan di setiap kampung, tidak banyak orang yang menghadirinya, paling cuma belasan orang. Hingga timbul dalam benak pikiran kita, kenapa orang tidak mau menghadiri pengajian? Apakah mereka semua sudah tau inti yang akan dipelajari dalam pengajain? Tentu saja bukan, bahkan bila kita menanyakan pada mereka hal-hal yang mendasar masalah agama, mereka tidak mengetahuinya. Lantas kenapa? Karena mereka merasa tidak membutuhkannya.
Coba Anda bandingkan dengan penonton bola di setiap kampung, tentu jumlahnya lebih banyak dari orang yang menghadiri pengajian. Mereka rela bergadang hingga pagi, bejatnya lagi shalat subuh tertinggal gara-gara menonton bola.
Di siang harinya pembicaraan di mulut-mulut mereka mengenai pertandingan bola semalam, mereka berkomentar dengan antusiasnya di warung-warung kopi, dimanapun mereka berada hingga di postingan facebook dan twitter.
Bila seandainya semangatnya mengaji seperti semangatnya menonton bola, tidak butuh waktu lama kita mewujudkan masyarakat yang islami. Setiap sesudah pengajian, tema pengajian menjadi topic pembicaraan di mana-mana, namun ini semua hanyalan semata.
Walaupun demikian kita tidak boleh pesimis, kita harus bertekad untuk mewujudkan peradaban islam.
Menjadi penulis
Banyak orang yang ingin menjadi penulis, namun terkadang keinginan tersebut tidak pernah diutarakan kepada orang lain dan dia hanya bercita-cita saja tanpa tindakan (act). Ada juga orang yang bercita-cita ingin menjadi penulis, tapi cita-cita tersebut tidak hanya disimpan dalam buku diarinya saja, dia juga bertindak, menyusun langkah-langkah menjadi seorang penulis.
Mungkin ada orang bertanya, di mana sih enaknya menjadi penulis? Jawabannya mungkin menurut setiap orang, ketika ia menetapkan menjadi cita-citanya menjadi penulis. Bila sesorang dari menulis ingin menjadi kaya, maka kekayaanlah yang menjadi motivator ia menjadi penulis. Bila seseorang ingin menjadi penulis karena popularitas, maka popularitaslah yang menjadi target utama ia menulis.
Tetapi menurut saya motivator yang bagus menjadi penulis adalah untuk menyebarkan ilmu dan mencerdaskan anak bangsa. Soal kaya dan populer itu adalah efek samping.
Jumat, 18 Januari 2013
Asbabun Nuzul surat Ali Imran ayat 2
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-Nya. (QS. Ali Imran:2)
Penyebab turunnya ayat ini (Asbabun Nuzul) adalah datangnya utusan nasrani, mereka berjumlah 60 orang, pembesar, pendeta, wazir dan orang-orang mulia. Mereka menjumpai Rasulullah berhujjah mengenai nabi Isa as. Terkadang mereka mengatakan “Isa itu anak tuhan, karena isa tidak mempunyai ayah”,pada kali yang lain mereka mengatakan “Isa itu Allah, karena isa dapat menghidupkan, dan dapat mematikan”, pada kali yang lain mereka mengatakan “Isa adalah oknum yang ketiga ketuhanan, karena Isa mengatakan “kami kerjakan, dan kami menciptakan”, bila isa itu adalah tunggal, maka isa akan mengatakan dengan kata ganti tunggal”.
Maka Rasulullah menjawab “Apakah kamu mengakui yang bahwa tuhan itu hidup dan tidak mati?”, mereka menjawab “Iya” Lalu Rasulullah melanjutkan pertanyaannya “Apakah kamu mengakui Isa itu mati?”, mereka menjawab “Iya”.
Hasyiah Shawi Ala’ Tafsir Jalalain, juz 1 hlam 187
Melakukan shalat istisqa'
Indonesia adalah negara tropis yang berada tepat pada garis khatulistiwa, makanya Indonesia memiliki dua musim;musim penghujan dan musim kemarau. Ketika musim penghujan, mungkin kita tidak khawatir dengan persediaan air bahkan yang kita khawatirkan bila curah hujan tinggi akan terjadinya banjir. Namun ketika memasuki musim kemarau, persediaan air semakin sedikit. Terkadang air yang ada tidak mencukupi, maka di ketika itu kita disunatkan untuk melakukan shalat istisqa’.
Salat istisqa’ adalah shalat meminta hujan ketika air sudah tidak ada lagi, atau persediaan air tidak lagi mencukupi. Juga shalat istisqa’ dilakukan ketika air yang biasanya tawar kini berubah menjadi asin.
Langkah pertama yang dilakukan, imam memerintahkan kepada seluruh masyarakat untuk bertaubat, bersedekah, keluar dari kezaliman, berdamai dengan musuh-musuh dan berpuasa tiga hari. Pada hari yang keempat imam keluar bersama manusia menuju lapangan dengan memakai pakaian yang biasa (maksudnya, bukan pakaian bagus), dan dengan rendah hati, khusyu’ dan tawadhhu’.
Kemudian dilaksanakanlah shalat dua rakaat sama seperti shalat hari raya, seusai shalat imam berdiri, berkhutbah sama juga dengan khutbah hari raya, namun imam menggantikan pada takbir dengan istighfar. Pada pertengan khutbah, khatib disunatkan untuk membalik rida’nya, dari posisi bawah ke atas, kanan ke kiri, juga khatib diperintahkan untuk memperbanyak istighfar. Dan berdoa dengan doa Rasulullah.
اللَّهُمَّ اجْعَلْها سُقْيا رَحْمَةٍ وَلا تَجْعَلْها سُقْيا عَذَابٍ وَلا مَحقٍ وَلا بَلاءٍ، وَلا هَدْمٍ وَلا غَرَقٍ، اللَّهُمَّ عَلى الظِّرَابِ وَالآكَامِ وَمَنَابِتِ الشّجَرِ وَبُطُونِ الأودِيَةِ، اللَّهُمَّ حَوَالَيْنا وَلاَ عَلَيْنَا، اللَّهُمَّ اسْقِنا غَيْثاً مغِيثاً هَنِيئاً مَرِيئاً مُرِيعاً سَحّاً عامّاً غَدَقاً طَبَقاً مُجَلَّلاً دائماً إلى يَوْمِ الدِّينِ، اللَّهُمَّ اسْقِنا الغَيْثَ وَلا تَجعَلْنا مِنَ القَانِطِينَ، اللَّهُمَ إنَّ بِالعِبادِ وَالبِلاَدِ مِنَ الجهْدِ وَالْجوعِ والضّنْكِ ما لا نَشْكُو إلاّ إلَيْكَ، اللَّهُمَّ أَنْبِتْ لَنَا الزّرْعَ وَأَدِرَّ لَنَا الضّرْعَ وَأَنْزِلْ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكاتِ السَّمَاءِ وَأنْبِتْ لَنَا مِنْ بَرَكَاتِ الأَرْضِ، وَاكْشِفْ عَنّا مِنَ البَلاءِ مَا لاَ يَكْشِفُهُ غَيْرُكَ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَغْفِرُكَ إنَّكَ كُنْتَ غَفَّاراً فَأَرْسِل السَّمَاءَ عَلَيْنَا مِدْرَاراً وَيَغْتَسِلُ في الوَادِي إذَا سالَ وَيُسَبِّحُ للرَّعْدِ وَالبَرْقِ
Bila setelah sahalat istisqa’, hujan tidak juga turun, disunatkan untuk mengulangnya hingga hujan pun turun.
Sabtu, 12 Januari 2013
Menjaga etika ketika makan
Sebagai muslim kita untuk beradab dan beretika dalam berbagai aspek kehidupan, di ketika makan kita juga harus memelihara etika-etika makan, apa saja etika-etika makan? simak penjelasan berikut.
Adab sebelum makan diantaranya adalah mencuci tangan, piring makanan di atas bumi (maksudnya tidak dipegang, diletakkan misalnya di atas meja makan), duduk, niat untuk kuat beribadah, tidak makan bila kenyang, ridha dengan makanan yang dihidangkan, tidak mencela makanan, dan mengajak orang lain makan bersama.
Adapun adab diketika sedang makan diantaranya adalah memulai dengan basmalah dengan jihar (membesarkan suara) agar orang lain pun teringat, pada suap pertama membaca Bismillah, pada suapan yang kedua membaca Bismillahir rahman dan pada suap yang ketiga membaca bismillahir rahmannir rahim, bahkan membaca bismillah pada tiap-tiap suapan itu perbuatan yang bagus karena kita selalu menyebut nama Allah pada setiap saat, tentunya bila kita ingin melakukannya. Makan dengan tangan kanan, memulai makan dengan garam dan mengakhiri makan juga dengan garam, memperkecil suap, sungguh-sungguh mengunyah makanan, tidak mengambil suapan yang lain sebelum suapan yang didalam mulut habis, makan apa yang mengiringi dengannya kecuali buah-buahan, karena Rasulullah pernah bersabda;
كل مما يليك
“Makanlah sesuatu yang mengiringi kamu” (Muttafaqun Alaih)
Tidak menghembus makanan yang panas, tetapi sabar hingga makanan tersebut bisa dimakan, tidak memotong makanan dengan pisau, juga tidak menyapu tangan dengan pisau, tidak menghimpunkan antara kurma dan bijinya dalam satu tempat, tidak minum sambil makan kecuali berhajat.
Adab sesudah makan adalah berhenti sebelum kenyang, mencuci tangan sesudah menjilatnya, mengambil makanan yang terjatuh, memuji Allah.
Adab ketika bersin
Islam adalah agama universal, di dalam islam semuanya diatur hingga pada bersin. Di dalam islam bagi orang yang bersin mempunyai beberapa adab, diantaranya adalah memuji Allah di ketika bersin dengan mengucapkan Alhamdulillah. Dan kepada orang yang mendengar orang bersin memuji Allah disunatkan untuk mendo’akannya dengan Yarhamu kumulllah, dan kepada orang bersin disunatkan untuk mendo’akan balik dengan mengucapkan Yahdikumullah wa yuslihu balakum.
عن أبي موسى الأشعري رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول إذا عطس أحدكم فحمد الله تعالى فشمتوه فإن لم يحمد الله فلا تشمتوه
“Dari Abu Musa Al-Asy’ari ra beliau berkata, aku mendengar rasulullah bersabda;”Apabila salah seorang dari kamu bersin, maka ia memuji Allah niscaya berdoalah untuknya. Dan bila ia tidak memuji Allah, maka jangan kamu berdo’a untuknya” (HR. Muslim)
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إذا عطس أحدكم فليقل الحمد لله وليقل له أخوة أو صاحبه يرحمك الله فإذا قال له يرحمك الله فليقل يهديكم الله ويصلح بالكم
“Dari Abi Hurairah dari Nabi Saw, beliau bersabda” Apabila bersin salah satu kamu, hendaklahlah ia mengucapkan ‘Alhamdulillah’ dan hendak mengatakan oleh saudaranya atau temannya ‘Yarhamukumullah’, dan apabila temannya mengucapkan ‘Yarhamukumullah’, hendaklah ia mengucapkan Yahdikumullah wa yuslihu balakum”(HR. Bukhari)
Jumat, 11 Januari 2013
Tata cara shalat gerhana
Fenomena alam yang sering kita jumpai dan ini merupakan salah sata tanda kekuasaan Allah adalah gerhana.
Di ketika terjadi gerhana, baik gerhana bulan atau matahari kepada kita disunatkan untuk salat gerhana.
Jumlah rakat shalat gerhana adalah 2 rakaat, namun ada tiga cara untuk melakukannya, cara pertama, dan cara ini adalah yang paling kurang yaitu shalat gerhana seperti shalat sunat zuhur. Cara kedua yaitu shalat gerhana dilakukan dengan dengan dua kali ruku’ dan dua kali i’tidal pada setiap rakaat tanpa memanjangkan qiraah dan tasbih, cara ini kurang dari sempurna. Cara yang paling sempurna yaitu cara yang ketiga, shalat gerhana dilakukan dengan dua kali ruku’ dan dua kali i’tidal dengan memanjangkan qiraah dan tasbih pada ruku’ dan i’tidal. Maka pada qiyam pertama dibaca surat Al-Baqarah, pada qiyam kedua dibaca surat Ali imran, pada qiyam ketiga dibaca surat An-nisa’ dan pada rakaat qiyam dibaca surat Al-Maidah.
Dan kadar panjang tasbih pada ruku’ pertama adalah kadar 100 ayat surat Al-Baqarah, pada ruku’ kedua kadarnya 80 ayat suarat Al-Baqarah, pada ruku’ ketiga kadar 70 ayat Albaqarah dan pada ruku’ keempat kadar 50 ayat surat Al-Baqarah.
Untuk tasbih pada sujud terjadi berbeda pendapat, pendapat yang shahih tasbih pada sujud dipanjangkan sama dengan kadar tasbih pada ruku’.
Sesudah shalat gerhana dilakukan, khatib berkutbah dengan dua khutbah yang pada khutbah tersebut kahatib mengajak manusia untuk bertaubat dari segala dosa, dan menganjurkan untuk berbuat kebaikan.
Dan bila gerhana bulan, maka shalatnya dijihar , dan jika shalat gerhana matahari maka shalatnya disirr. Dan shalat waktu gerhana habis dengan tersingkapnya gerhana, dan terbenamnya matahari pada gerhana matahari, dan dengan terbitnya matahari pada gerhana bulan. Bila shalat gerhana tertinggal, tidak disunatkan untuk mengqadhanya.
Sebelum melakukan shalat gerhana disunatkan terlebih dulu untuk mandi.
Darul Huda, 11 Januari 2013
Kecintaan sang Ayah
Salah seorang orang tua santri menjenguk anaknya, dia memarkirkan sepeda motornya tepatnya disamping kamar saya, diambil bawaannya untuk anaknya. Saya berdiri didepan kamar sedang membersihkan beras untuk menanak nasi. Dia terus melangkah ke kamar anaknya. Dalam benak saya terbersit, bila orang tua masih saya dan masih masih muda mungkin juga akan mengunjungi saya sesekali. Ahh rasa rindu kepada sang ayah.
Dan teringat saya sewaktu saya masih kecil, ayah saya adalah seorang pedagang di kota Lhoksukon dan tidak pulang setiap hari. Beliau pulang seminggu tiga kali, di sore hari saya duduk di depan rumah tidak sabar menunggu pulangnya karena ketika beliau pulang beliau selalu membawa pulang mie goreng, terkadang-kadang juga cendol.
Kita tidak persis tau bagaimana rasanya menjadi ayah? Sebesar manakah kecintaaan ayah pada anaknya sebelum kita menjadi ayah. Setelah kita menjadi ayah kita baru merasai betapa pengorbanan sang ayah, dan betapa besar kecintaannnya kepada kita.
Ya Allah.. Ampunilah dosa abiku, luaskanlah kuburnya…
Darul Huda, 11 Januari 2013
Kamis, 10 Januari 2013
Jak ta meudikee...!
Jak ta meureunoe dikee…!
Di tengah gempuran aliran sempalan wahabi, penyambutan bulan Maulid di Aceh masih semarak seperti dulu-dulunya. Sebulan sebelum memasuki bulan maulid, di desa-desa sudah diajarkan meudikee (berzikir) yang akan dibacakan ketika perayaan maulid, waktunya hampir sebulan. Namun bagi kami di Dayah belajar dikee Cuma membutuhkan beberapa malam, paling lama 5 malam, tidak membutuhkan waktu yang begitu lama karena santri-santri di Dayah sudah terbiasa di shalawat-shalawat dan zikir karena pada malam jum’at ada acara dalail.
Dikee adalah bahasa Arab yang sudah diacehkan, diambil dari kata ‘zikir’. Pengertiannya adalah shalawat-shlawat, istighfar, zikir yang dibacakan dalam memperingati kelahiran nabi Muhammad Saw.
Dikee tersebut terbagi kepada dua, yang pertama, dikee leungik dan kedua, dikee hana leeungik. Dikee leungik yaitu dikee yang dilakukan secara duduk dengan menggoyang-goyangkan badan. Dikee hana leungiek adalah dikee secara duduk yang tetap tanpa menggerak-gerakkan badan. Ulama-ulama Aceh berbeda perspektif mengenai dikee leungik, sebagian ulama tidak membolehkannya, untuk alasan kenapa tidak membolehkannya saya kurang memahaminya. Dan sebagian ulama membolehkan.
Kitab pegangan utama dalam membaca dikee adalah kitab Barzanji. Juga ada qasidah-qasidah dalam bahasa Aceh yang berisi nasehat-nasehat.
Darul Huda, 11 Januari 2013
Gemarkan membaca Alquran
Saya ingin kejujuran Anda, berapa lama Anda dalam sehari membaca Al-Quran? Coba Anda bandingkan dengan waktu yang Anda gunakan untuk berfacebook ria? Miris sangat, membuka facebook seperti sudah menjadi hal yang wajib setiap hari, namun membaca Al-quran terkadang ada, terkadang dilupakan sama sekali.
Mengaku diri muslim yang katanya ingin mendirikan Negara islam, namun perilaku tidak mencerminkan keislaman. Bagaimana kita akan hidup di dalam sistem islam, bila Al-Quran yang salah satu sumber islam kita lupakan. Apakah perkataan kita Cuma omong kosong saja?
Ironisnya lagi, ada muslim tetapi tidak bisa membaca Alquran, muslim ini tidak lebih dari status di ktp saja. Keislamaan tidak kokoh, terombang ambing dalam pengaruh dunia.
Dulu setiap sesudah magrib kita mendengar suara anak-anak di setiap rumah yang belajar membaca Al-Quran, tetapi sekarang suara tersebut ditelan oleh bisingnya suara televise, orang tuanya tidak sempat lagi mengajar anaknya membaca Alquran.
Maka langkah yang harus kita ambil segera adalah mari melestarikan membaca Alquran, jangan Alquran Cuma dijadikan sebagai pajangan yang tidak pernah disentuh dan berdebu di rak-rak.
Darul Huda, 11 Januari 2013
Ajari mereka 'memaafkan'...!
Shalat sunat ba’diyah isya saya barusan agak sedikit terganggu, kusyu’ saya hilang dikarenakan anak-anak yang berbuat keributan di ketika kami shalat isya salah satunya menangis. Penyebabnya temannya memukulnya, beberapa santri kelas 1 mencoba mendiamkannya, namun anak itu tetap saja menangis sambil berteriak-teriak “si Haikal...!, si Haikal…!” Menyebut nama temannya yang memukulnya. Lantas salah satu santri berkata “pukul balas si Haikal” mencoba merayunya untuk diam.
Dalam benak saya, beginakah cara mendiamkan anak kecil yang menangis, tidak ada cara lain? Kenapa harus dengan cara menyuruhnya untuk membalas perlakuan jahat temannya.
Tanpa sadar kita telah mengajari anak-anak menjadi seorang pendendam, setiap ada orang yang berbuat jahat kepadanya seakan harus dibalas dengan setimpal.
Tentu saja bukan, karena tidak setiap kejahatan dituntut untuk membalasnya. Walaupun ada kejahatan yang memang dituntut balasan seperti pada qisas.
Namun pada kejahatan-kejahatan yang lain yang dituntut adalah memberi kemaafan kepada pelaku kejahatan, bukankah Rasulullah telah memberi contoh kepada kita, bagaimana Rasulullah dihina, diejek, dipukul, bahkan dilemper dengan taik unta, namun Rasulullah bersabar tidak memabalasnya. Bahkan dengan sikap ini membawa hikmah masuknya orang-orang musyrik dalam agama islam.
Jadi mulai sekarag mari kita ubah sikap kita mengajari anak-anak, ajarilah mereka menjadi seorang pemaaf, dan jangan ajari mereka menjadi seorang pendendam.
Darul Huda, 10 Januari 2013
Cara memotong kuku jari tangan dan kaki
Memotong kuku jari tangan dan kaki yang siapa tidak pernah? Hampir semua orang melakukannya, tapi taukah Anda cara memotong kuku tangan dan kaki yang disunatkan? Bila belum tau, simaklah penjelasan yang akan saya uraikan.
Pendapat yang kuat pada cara memotong kuku tangan yaitu dimulai dari kuku jari telunjuk sebelah kanan, kemudian seterusnya hingga kuku jari kelingking secara berturut-turut, sesudah itu baru kuku ibu jari. Kemudian dipotong kuku kelingking jari kiri berturut-turut hingga kuku ibu jari sebelah kiri.
Sedangakan untuk kuku jari kaki dipotong dimulai dari kelingking kuku kaki sebelah kanan hingga kuku kaki kelingking sebelah kiri secara berturut-turut.
Fathul Mu’in juz 1 hlm 84
Darul Huda, 10 Januari 2013
Selasa, 08 Januari 2013
Tradisi Aceh, Peusijuek Lueng
Lueng dalam bahasa Aceh adalah parit, got atau saluran irigasi. Namun kata ‘lueng’ mempunyai makna yang berbeda apabila dikaitkan dengan kata ‘peusijuek’, lueng pada kata ‘peusijuk lueng’ tidak lagi mempunyai arti parit tetapi ia berarti rahim perempuan.
Peusijuk lueng adalah salah satu tradisi Aceh yang masih eksis hingga kini, peusijuk lueng yaitu acara menepung tawari orang hamil dengan berdo’a agar orang hamil tersebut selamat dan tidak mendapatkan kesulitan di waktu melahirkan. Peusijuk lueng dilakukan saat kehamilan memasuki masa 7 bulan, dan acara ini harus dilakukan ketika bulan Hijriyah sudah melewati tanggal 15 atau dalam bahasa Aceh biasanya dikatakan “watee buleun ka tirut”. Saya pernah mewawancarai beberapa tetua di kampung saya, kenapa acara peusijuk lueng mesti dilakukan ketika bulan hijriyah sudah melewati tanggal hijriyyah? Apakah ada efek yang diyakini terjadi apabila acara ini dilakukan sebelum tanggal melewati 15? Para tetua di kampung saya tidak tau, mereka melakukannya karena orang-orang tua dulu seperti ini melakukannya.
Pada acara ini, sebelumnya dari pihak mempelai pria memberi kepada pihak mempelai wanita beras satu sak, juga beras ketan hingga uang untuk mengadakan acara ini. Dan pada hari acara, dari pihak mempelai pria datang ke rumah mempelai wanita dengan rombongan membawa ‘bu kulah’, nasi yang dibungkus dengan daun pisang yang sudah dilayukan dengan api bentuknya seperti piramida, lauk pauk yang tentu enak-enak seperti sie manok, sie itek, eungkot muloh, eungkot sure dan lain-lain serta kue-kue seperti meuseukat, bu bajek, dodoi, keukarah, nyap, markee dan kue-kue yang lain. Dan satu lagi yang tidak boleh tertinggal yaitu buah-buahan misalnya mangga, apel, jeruk, salak dan lain-lain, juga lincah atau rujak. Dan ketika pihak dari mempelai pria, pihak dari mempelai wanita memeberi juga lauk-pauk yang telah disediakan olehnya juga kue-kue.
Istilah ‘peusijuk lueng’ adalah istilah yang masyhur di daerah kami, Aceh Utara. Untuk sebagian tempat, orang Cuma mengatakan “jak meu bu kulah”, atau mungkin ada istilah lain yang tidak saya ketahui.
Darul Huda, 8 Januari 2013
Jumat, 04 Januari 2013
Kontroversi Duduk Mengangkang
Larangan duduk mengangkang dalam surat edaran (02/01) Suaidi Yahya Wali Kota Lhokseumawe kini menjadi bola panas yang terus bergulir, media-media cetak, elektronik baik lokal maupun nasional menjadikan larangan duduk mengangkang sebagai topik panas untuk dibahas.
Banyak pro dan kontra mengenai ini, salah satu yang kontra adalah YLKI “Surat edaran itu tidak mencerminkan aspek keselamatan di dalam bertransportasi khususnya sepeda motor,” kata Tulus Abadi, Koordinator Advokasi Transportasi YLKI dalam wawancara dengan BBC Indonesia, Heyder Affan, Rabu (03/01) sore.
Orang-orang yang tidak setuju dengan larangan tersebut beralasan, duduk menyamping lebih rawan terjadi kecelakaan, benarkah? Saya kira tidak. Karena cowok yang duduk mengangkang pun sangat banyak terjadi kecelakaan, bahkan kecelakaan di jalan raya lebih banyak dialami oleh kaum cowok yang notabene duduknya mengangkang.
Selamat atau tidak selamatnya itu tergantung pada pengemudi sepeda motor, apakah ia hati-hati atau tidak? Bila pengendara tidak hati-hati, ugal-ugalan, tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas, duduk mengangkang pun berbahaya.
Bahkan duduk mengangkang bagi perempuan lebih berbahaya dari duduk menyamping, dengan duduk mengangkang perempuan lebih rawan untuk mendapatkan pelecehan seksual. Coba anda bayangkan perempuan yang duduk mengangkang memakai celana ketat, baju ketat, pria mana yang tidak timbul birahi.
Pada akhirnya, sebelum menolak atau tidak setuju dengan surat edaran wali kota Lhokseumawe, lebih bijak dan arif kita meneliti akibat-akibat yang akan ditimbulkan, jangan suka koar-koar tidak jelas.
Teupin Punti, 5 Januari 2012
Petani adalah pahlawan
Petani itu pahlawan, iya memang pahlawan, pahlawan pangan. Orang kerja kantoran, wiraswasta, PNS, atau lainnya semau makan dari hasil petani. Maka jangan anggap rendah profesi petani, tanpa petani anda akan kelaparan.
Saya juga petani, petani sawah tepatnya. Sawah kami tahun ini diserang oleh hama, hama tikus yang sangat menggila, hama ulat, dan burung-burung pipit pemakan padi. Sekarang petani sibuk dengan membuat orang-orangan dan sejenisnya untuk menghalau burung.
Teupin Punti, 4 Januari 2013
Belajar menulis di Dayah
Siang tadi, kelas saya diliburkan karena mempersiapkan ucara untuk malam ini yaitu final bulanan muhadharah. Di Dayah kami setiap malam jum’at ada di adakan muhadharah (latihan berpidato). Dan pada setiap jum’at di pilih pidato-pidato terbaik dan pada jum’at yang ke-lima dibuatlah final merebutkan juara 1, 2, 3. Dan para finalis bulanan terbaik (juara 1) pada setiap bulan di akhir tahun akan mengikuti finalis tahunan. Finalis tahunan ini sedikit lebih bergengsi karena memperebutkan juara 1 di antara para jawara 1, dan jawara 1 pada final tahunan seperti tahun-tahun yang sudah lewat dimintai untuk berpidato di hadapan Abu pimpinan dayah.
Maka jangan heran, bila santri dayah mahir dalam berbicara memang sudah dilatih sedemikian rupa. Namun setiap kelebihan dibalik tersebut juga ada kekurangan yang meliputinya, yaitu santri Dayah kurang cekatan dalam bidang menulis. Sehingga kita melihat opini-opini di Koran-koran kebanyakannya di tulis oleh mahasiswa, bila ada santri yang menulis itupun santri yang ada kuliah.
Kekurangan ini bisa kita lacak penyebabnya, karena kurikulum dayah tidak meluangkan jam-nya untuk pelajaran menulis. Ada pelajaran yang bernama ‘Khat dan Imla’ pada kelas satu, itu tidak terkait dalam dunia jurnalistik. ‘khat dan Imlak’ yang diajarkan pada kelas 1 adalah mengajari murid kelas 1 menulis dan mendikte bahasa arab yang benar.
Gagapnya menulis santri dayah sebagiannya cukup parah. Bagaimana saya mengatakan parah? Ketika disuruh menterjemah kitab dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia, bahasa yang digunakan sangat tidak enak dibaca.
Teknologi yang semakin berkembang, agaknya sedikit mengkikis gagapnya santri dayah dalam menulis. Hadirnya Facebook dan blog-blog gratis sangat membantu santri dayah dalam menulis dan menuangkan ide-idenya.
Namun demikian, kedepannya kita mengharap agar dayah untuk lebih serius dalam mengembangkan dunia menulis santri, santri diakhir belajarnya yaitu ketika naik kelas 7 harus disuruh membuat karya ilmiah. Karya ilmiah tersebut tergantung santrinya, kita suruh santri untuk menerjemah kitab yang kita pilih atau bisa juga kita suruh untuk mengkritisi kitab-kitab dengan argumen-argumen
Wallahu A’lam
Darul Huda, 20 Desember 2012
Hierarki Pembelajaran privat
Beberapa malam yang lalu, salah seorang santri kelas 1 menemui saya, dia meminta saya, agar sudi untuk belajar privat. Dan dibelakangnya lagi, santri kelas 3 yang juga murid saya di waktu siang meminta saya dalam seminggu untuk meluangkan waktu dua malam saja untuk belajar tambahan. Juga santri kelas 2 pernah begitu, semua permintaan saya tolak dengan halus. Saya menasehati kepada santri kelas 1 untuk belajar saja dengan santri yang di atasnya, yaitu kelas 2, 3, 4, 5, atau 6. Pada santri kelas 2 dan kelas 3 pun juga begitu saya menasehatinya. Karena santri kelas 6, kelas 5 dan 4 itu sudah mampu untuk mengajar santri kelas 1,2 dan 3.
Coba anda bayangkan bila semua ajakan saya terima, jadi saya harus mengajari privat kelas 1, 2 dan 3. Dan ketika murid kelas 4 dan 5 dan 6 bila ada surah yang tidak ia pahami pun bertanya pada saya. Bagaimana saya harus mengalokasikan waktu saya? kapan saya harus belajar?.
Makanya dalam pembelajaran privat kita harus menyusun hierarki (tingkatan pembelajaran). Jangan tanggung jawab belajar mengajar privat semua dipikul oleh kelas-kelas takhassus seumpama kelas 7 dan kelas 8. Biarkan kelas 2 mengajari kelas 1, kelas 3 mengajari kelas 2, kelas 4 mengajari kelas 3, kelas 5 mengajari kelas 4, dan kelas 6 mengajari kelas 5. Karena ini soal belajar privat, bukan pembelajaran pokok dalam kelas.
Darul Huda, 21 Desember 2012
Mendengar, berbicara, dan menulis bahasa arab di Dayah
Bukan santri dayah namanya bila tidak bisa membaca bahasa arab, karena di dayah mulai dari kelas 1 hingga seterusnya diajarkan kitab-kitab bahasa arab, maka suatu kewajaran bila santri dayah lancar dalam membaca kitab arab gundul, lalu mengartikannya dan menjelaskannya.
Namun demikian, walaupun lancar membaca bahasa arab, jangan suruh mereka untuk berbicara bahasa arab. Ini akan dirasakan sangat sulit. Kenapa bisa begitu? Sangat aneh, membaca bahasa arab bisa, namun tidak bisa berbicara bahasa arab? Itulah kenyataannya, ini dikarenakan tidak adanya pengajaran bahasa arab aspek berbicara (speaking). Sehingga ketika diajak berbicara bahasa arab, agak sedikit grogi, walaupun mereka mengetahui apa yang dibicarakan, namun sangat sulit untuk menyahutnya. Inilah aspek yang pertama.
Aspek kekurangan yang kedua, adalah santri dayah kurang bisa mendengar bahasa arab ketika diucapkan oleh orang arab asli. Menonton, mendenger berita dalam bahasa arab sangat dirasakan sulit, imi memang tidak pernah diajarkan.
Yang ketiga adalah santri dayah kurang bisa menulis dalam bahasa arab, sehingga sangat sedikit kita melihat sekarang kitab-kitab dalam bahasa arab karangan santri dayah.
Di sebagian-sebagian dayah, aspek pertama dan aspek kedua sudah sedikit sudah teratasi dengan diterapkan wajib berbahasa arab, namun untuk aspek ketiga sedikit dayah mengatasinya. Untuk mengatasi masalah aspek pertama, dan kedua sangat mudah diatasi, dengan dilakukan training satu bulan semua selesai, karena santri sudah sangat menguasai bahasa arab.
Kekurangan-kekurangan ini sangat dimanfaatkan oleh musuh-musuh dayah untuk menyerang dayah, karena untuk mematahkan agumen-argumen santri dayah mereka sangat kewalahan, maka mereka mencari kelemahan-kelemahan dayah.
Sebagai santri dayah, kita tidak boleh pesimis, dan hiperkritis. Kritik-kritik ini memang benar adanya. Tugas kita sekarang bukannya mencari alasan-alasan di balik kekurangan kita, tapi tugas kita untuk membuat kemajuan dayah, bila dulu kita hanya bisa membaca bahasa arab, sekarang kita usahakan untuk menguasai ke empat aspek tersebut mulai membaca (reading), mendengar (listening), berbicara (speaking), dan menulis (writing). Sehingga akhirnya dayah dapat bersaing di taraf internasional.
Darul Huda, 21 Desember 2012
Imam-imam qiraah sab'ah
Membaca Al-Quran bukan hal yang
asing bagi kita, karena Al-Quran
adalah penyejuk hati umat islam.
Kita perlu mengetahui, cara
membaca Al-Quran tidak terbatasi
dengan qiraah yang kita baca,
banyak qiraah yang lain yang
mu’tabar yang bisa diaplikasikan
dalam tilawatil qur’an.
Qiraah Sab’ah bagi kaum awam
mungkin agak terdengar asing, tapi
untuk orang-orang yang
berkecimpung dalam ilmu
keagamaan, ini adalah hal lumrah
dan diketahui. Lantas siapa sajakah
Imam-imam Qiraah Sab’ah?
1. Imam Nafi’
Nama lengkapnya ialah Nafi’ bin
Abdurrahman bin Abu Nu’aim al-
Laitsiy, beliau lahir di kota Isfahan
pada tahun 70 H. sejak muda ia
telah menekuni Al-Qur’an dan baru
tentang Al-Qur’an kepada lebih 70
orang tabiin. Setelah dewasa Imam
Nafi’ pergi ke kota Madinah dan
menetap di sana hingga wafat pada
tahun 169 H. selama kurang lebih
70 tahun imam Nafi’ menjadi guru
Qiraat di kota Madinah.
Sanad atau silsilah bacaan imam
Nafi’ adalah sebagai berikut,
diantara salah satu gurunya yang
banyak itu terdapat Abdurrahman
bin Hurmuz, Abdurrahman dari
Abdullah bin Abbas, Abdullah dari
Ubay bin Ka’ab, dan Ubay dari
Rasulullah saw.
Perawi-perawinya yang masyhur
ialah Qalun Abu Musa Isa bin Mina
dan WarasyAbu Sai’d Utsman bin
Sa’id.
2. Ibnu Katsir
Nama lengkapnya adalah Abdullah
bin Katsir. Ia lahir dan wafat di kota
Mekkah. Lahir pada tahun 45 H dan
wafat pada tahun 120 H.
Adapun sanad bacaanya adalah dari
sahabat Ubay bin Ka’ab dan Umar
bin Khattab dan kedua sahabat
tersebut dari Rasulullah saw.
Perawi-perawinya yang masyhur
ialah Ahmad bin Muhammad bin
Abdullah bin al-Qasim yang terkenal
dengan Bazzy dan Muhammad bin
Abdurrahman bin Muhammad al-
Makhzumi yang terkenal dengan
julukan Qunbul.
3. Abu Amr
Nama lengkapnya adalah Zabban bin
Ala’ bin Ammar. Ia lahir di kota
Mekkah pada tahun 68 H. imam Abu
Amr kemudian merantau ke daerah
dan mengajar Al-Qur’an di sana.
Setelah itu pindah ke Kufah hingga
wafatnya pada tahun 154 H.
Adapun sanadnya yang dimiliki Abu
Amr adalah sebagai berikut, ia
membaca dari beberapa guru
diantaranya Abu Jafar Yazid bin
Qa’qa’ dan Hasan al-Bashri, Hasan
membaca dari Khuthun Abu Aliyah.
Abu Aliyah mendapat bacaan dari
Umar bin Khattab dan Ubay bin
Ka’ab. Kemudian kedua sahabat ini
mendapat bacaan dari Rasulullah
saw.
Perawi-perawinya yang masyhur
ialah Abu Amr Hafs bin Umar bin
Abdul Azis yang populer dengan
julukan Ad-Dury, dan Abu Syuaib
Shaleh bin Ziyad bin Abdullah bin
As-Susy
4. Ibnu Amir
Nama lengkapnya adalah Abdullah
bin Amir Al-Yahsabi. Lahir pada
tahun 28 H dan wafat pada tahun
118 H di Damaskus.
Sebagai tabi’in, sanad bacaan Imam
Ibnu Amir hanya berselang dengan
seorang sahabat dari Rasulullah saw
yaitu membaca dari Utsman bin
Affan dan Utsman menerima bacaan
dari Rasulullah.
Perawinya-perawinya yang masyhur
ialah Hisyam bin Amir ad-Dimasyqi
dan Abu Amr Abdullah bin Ahmad
bin Basyir bin Zakwan.
5. Ashim
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar
bin Abu Nujud al-Asadiy. Ia
merupakan maha guru Qiraat di
kufah dan wafat disana pada tahun
127 H.
Imam Ashim memiliki sanad bacaan
sebagai berikut, ia membaca dari
Abdurrahman Abdullah bin Ubaib
as-Sulami, Abdurrahman menbaca
dari Abdullah bin Mas’ud, Utsman
bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay
bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Dan
para sahabat tersebut menerima
dari Rasulullah.
Perawi-perawinya yang masyhur
ialah Abu Bakar Syu’bah bin Iyasy
bin Salim al-Asadiy dan Abu Umar
Hafs bin Sulaiman bin Maghirah.
6. Hamzah
Nama lengkapnya Abu Umamah
Hamzah bin Hubaib az-Ziyat Rabi’
at-Taimy. Ia lahir di kota Kufah pada
tahun 80 H juga wafat di kota Kufah
pada tahun 156 H.
Sanad yang memiliki Imam Hamzah
adalah sebagi berikut, ia menerima
dari Qiraat dari Abu Muhammad bin
Sulaiman bin Marhan al- A’masyi.
Al-A’masyi membawa dari Abu
Muhammad Yahya al-Asady, Yahya
menerima dari Al-Qamah bin Qais
dan Al-Qamah belajar dari sahabat
Rasulullah Abdullah bin Ma’ud
kemudian Ibnu Mas’ud ini menerima
dari Rasulullah saw.
Dua perawinya antara lain yaitu Abu
Muhammad Khalaf bin Hisyam al-
Bazzaz dan Abu Isa Khallad bin
Khalid as-Sayrafi.
7. Ali al-Kisa’i
Nama lengkapnya adalah Abu Hasan
Ali bin Hamzah Al-Kisa’i. ia lahir,
mengajar, dan wafat di kota Kufah,
wafat tahun 189 H.
Dua perawinya yang masyhur adalah
Abu Harits al-Laits bin Khalid al-
Baghdady dan Dury.
Kemudian timbul lagi qiraat yang
lain, yang qari-qarinya adalah:
1. Abu Muhammad Ya’kub bin Ishaq
Al-Hadhrami, meninggal di Basharah
tahun 225 H. perawi-perawinya
yang termasyhur ialah Ruwais
Muhammad bin al-Mutawakkil dan
Rauf bin Abdul Hakim.
2. Abu Muhammad Khalaf bin
Hisyam, meninggal di Kufah tahun
229 H. perawi-perawinya yang
termasyhur ialah Ishaq Al-Warraq
dan Idris Al-Madda.
3. Abu Ja’far Yazid bin Al-Qa’qa’ Al
Makhzumi, meninggal di Madinah
tahun 230 H. perawi-perawinya
yang termasyhur ialah Ibnu Wardan
dan Ibnu Jammaz.
Dengan tambahan yang tiga ini,
qiraah menjadi sepuluh dan disebut
“Qiraah Sepuluh”
Kemudian timbul lagi empat qiraah
yang lain pula, yang qari-qarinya
ialah Muhammad bin Mahaishiz Al-
Makki, Al-A’masy Al-Kufi, Al-Hasan
Al-Bashri dan Yahya Al-Yazidi.
Semuanya menjadi “Qiraah Yang
Empat Belas”.
Qiraah yang tujuh adalah qiraat
yang mutawatir (yang diriwayatkan
oleh perawi-perawi yang banyak) .
Ulama berbeda pendapat mengenai,
yang manakah Qiraah Syadz?.
Sebagian ulama berpendapat, Qiraah
Syaz adalah qiraah yang diluar
qiraah sepuluh dan sebagian ulama
mengatakan qiraah syadz adalah
qiraah yang diluar qiraah tujuh, dan
berpendapat dengan pendapat ini
oleh ulama ushul, satu jamah dari
fuqaha’, termasuk di dalamnya
adalah imam Nawawi.
Qiraah syazd diharamkan
membacanya, baik di dalam shalat
maupun di luar shalat karena qiraah
syadz bukanlah Alquran. Dan bila
kita membacanya dalam shalat
dengan sengaja dan mengetahui
haramnya, maka shalat kita tersebut
batal bila qiraah syadz tersebut
mengubah makna, mengurangi
huruf atau menambahkan huruf.
Darul Huda, 28 Desember 2012